Orang-orang menggunakan Internet untuk berbagi informasi dan menunggu waktu dalam masa pembatasan sosial. Tidak ketinggalan untuk menyuarakan kecemasan. Saat-saat ini juga, percakapan online (terutama melalui media sosial) memberi tahu kita lebih banyak tentang bagaimana perasaan dan aktivitas kita di saat pandemi ini berlangsung.
***
Saat sindrom pernapasan akut berat (SARS) tahun 2003 mewabah, populasi pengguna Internet di seluruh dunia “baru” mencapai 600 juta atau kurang dari 10% total populasi dunia. Bisa dikatakan, penyebaran informasi melalui Internet belum berbanding lurus dengan penyebaran virus ini sendiri. Dan tentunya tidak banyak ditemukan gejolak atau bahkan kesimpangsiuran informasi terkait penyebaran pandemi ini. Tapi wabah SARS di tahun itu juga sekaligus menggarisbawahi suksesnya komunikasi risiko yang cepat dan akurat kepada publik.
Atau kasus Ebola 2010 sering dibandingkan dengan pandemi virus korona yang terjadi sekarang, dengan pengguna Internet yang baru mencapai 28,7% total populasi dunia.
Mundur jauh ke belakang, saat pandemi flu Spanyol menyerang pada tahun 1918 yang bisa dikatakan sebagai pandemi terburuk dalam sejarah modern. Virus ini menewaskan sedikitnya 50 juta orang di seluruh dunia. Di Amerika Serikat, penyakit ini menghancurkan kota-kota dan memaksa berlakunya pembatasan sosial berskala besar, baik dalam bentuk larangan pertemuan publik, penutupan sekolah dan perkantoran, sampai tempat ibadah. Secara total, 675.000 orang Amerika meninggal karena flu tersebut, flu yang dinamai karena Spanyol dikenal sebagai tempat awal kehadiran penyakit ini.
Saat itu, Internet bahkan belum ada, dan media informasi (cetak tentunya), jangkauannya belum luas dan secanggih sekarang. Dan mungkin menjadi satu yang menyebabkan informasi pandemi itu tidak menyebar luas, yang bisa menyebabkan kepanikan massal di belahan dunia lain. Atau di sisi sebaliknya, membuat orang-orang di belahan dunia lain menjadi lebih waspada. Tercatat, pandemi yang berlangsung 15 bulan ini, menginfeksi sekitar 500 juta orang di seluruh dunia. Setiap sudut dunia dan setiap kota besar terkena virus hanya dalam beberapa minggu. Populasi global saat itu adalah 1,8 miliar orang atau seperlima populasi dunia diserang oleh virus mematikan ini. Ini berarti dalam hanya beberapa bulan, itu telah membunuh lebih banyak orang daripada penyakit lain dalam sejarah yang tercatat.
The National Archives and Records Administration di Amerika Serikat dalam dokumentasinya, menyebutkannya sebagai “Sulit dipercaya, tapi itulah yang terjadi”.
***
Saat ini, dunia sedang berjuang melawan pandemi virus korona, yang dimulai sekitar akhir Desember 2019. Dan saat virus ini melanda seluruh dunia, populasi Internet dan perkembangan media sosial menjadi sebuah keniscayaan tersendiri. Berdasarkan data Internet World Stats, per Januari 2020, pengguna Internet di seluruh dunia tercatat mencapai 4,5 miliar—2,3 miliar di antaranya berada di Asia—atau hampir mencapai 60% dari total populasi dunia. Sementara pengguna media sosial telah melampaui angka 3,8 miliar. Dan tren terbaru menunjukkan bahwa lebih dari setengah dari total populasi dunia akan menggunakan media sosial pada pertengahan tahun ini. Belum termasuk, ada lebih dari 5,2 miliar orang sekarang menggunakan telepon seluler, dengan jumlah pengguna naik 124 juta atau 2,4 persen selama setahun terakhir.
Sampai di sini kita pasti sudah bisa membayangkan, semassif apa penyebaran informasi yang akan dan sudah terjadi.
Ketika tahun 2020 bergulir, wabah itu berubah menjadi pandemi internasional. Virus itu menyebar menjadi sebuah kepanikan dan menuntut informasi apa pun tentang penyakit itu. Akibatnya, media sosial menjadi sumber informasi vital yang sangat diperlukan tapi sekaligus lahan subur bagi penyebar informasi sesat yang berbahaya.
Di saat SARS dan Ebola menyebabkan kepanikan global, biarpun tanpa “dukungan” media sosial, kepanikan dan ketakutan yang sama juga justru timbul sekarang. Dan telah secara khusus diperkuat (atau bahkan diperparah oleh) oleh kekuatan media sosial. Ini memungkinkan disinformasi menyebar dan berkembang pada kecepatan yang belum pernah terjadi sebelumnya, menciptakan lingkungan dengan “chaos” yang meningkat yang bisa memicu kecemasan secara langsung dan online, jika tidak tertangani secara baik.
MIT Technology Review dalam laporannya pertengahan Februari kemarin menyebutkan virus korona ini adalah “infodemik” media sosial sejati pertama. 2
Lebih dari segalanya, sumber kecemasan terbesar adalah proses alami yang timbul saat menonton berita di media sosial. Itu memperkuat ketakutan masyarakat ke tingkat yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Semua orang tiba-tiba merasa mendapatkan serangan kepanikan. Semua takut tertular virus.
Di salah satu rilis persnya, Direktur Jenderal WHO bahkan menyatakan: “Kami tidak hanya memerangi epidemi, tapi kami sedang berjuang melawan infodemik.”
WHO dan juga organisasi kesehatan masyarakat lainnya juga menggunakan media sosial untuk memberi tahu masyarakat tentang wabah terutama untuk mengendalikan kepanikan. Tentu saja, itu tidak berarti bahwa informasi yang salah tidak diedarkan di antara pengguna media sosial.
Banyak di antara orang-orang ini justru ingin menceritakan kisah mereka dan mendokumentasikan kehidupan sehari-hari mereka dalam menghadapi penyakit mematikan ini. Terutama orang-orang di lingkungan yang sangat terisolasi, seperti kapal pesiar Diamond Princess, kapal yang terinfeksi virus korona. Ataupun berita tentang tiga pasien pertama virus korona di Indonesia. Pasien 01 yang merupakan pasien dari kasus paling awal di Indonesia dan diumumkan langsung oleh Presiden Joko Widodo, di awal Maret yang lalu. Sementara pasien 03 merupakan penelusuran pemerintah terhadap kasus 01. Konferensi pers, penyebaran berita, gambar, dan video kebahagian atas kesembuhan dan “eksploitasi” atas kegembiraan tersebut dalam bentuk seremoni, ikut memupuk berbagai pro dan kontra yang timbul di masyarakat. Termasuk menyebarnya disinformasi kebenaran peristiwa, kapan peristiwa itu terjadi, penyebaran data-data pribadi, dan klaster penyebaran.
Tapi di saat yang sama, penyebaran virus korona ini ternyata sudah dalam tahap mengganggu garis pertahanan pertama media sosial. Facebook terutama, mengumumkan di awal Maret, bahwa ribuan moderator konten dirumahkan—meninggalkan lebih banyak menajemen konten berada di tangan mesin. Pekerjaan mereka seringkali sulit, jika bukan tidak mungkin, untuk dilakukan dari rumah. Tapi tanpa kerja keras mereka, Internet mungkin menjadi tempat yang kurang bebas dan lebih menakutkan.
Tapi karena hal tersebut, pengguna Facebook mulai memperhatikan sesuatu yang aneh beberapa waktu kemudian. Tautan ke outlet berita dan situs web yang terverifikasi seperti The Atlantic, USA Today, dan BuzzFeed, sedang dihapus secara massal karena dilaporkan melanggar aturan spam Facebook. Masalahnya kemudian berdampak pada kemampuan banyak orang untuk berbagi artikel berita dan informasi tentang pandemi virus korona yang sedang berkembang.
Tidak ada pilihan mudah untuk dibuat. Mengirim moderator kembali bekerja akan menjadi keputusan berdasarkan nilai kemanusiaan, karena kepedulian terhadap risiko kesehatan pekerja, tetapi membuatnya bekerja dari rumah, di satu sisi malah bisa meningkatkan isu privasi dan masalah hukum. Meninggalkan tugas moderasi sebagian besar ke mesin berarti menerima lebih banyak kesalahan dan mengurangi kemampuan untuk memperbaikinya pada saat ada sedikit ruang untuk kesalahan.
Tidak ada penjelasan langsung apakah hal ini sangat terkait dengan isu merumahkan karyawan seperti yang disebutkan sebelumnya. Tapi setidaknya kita bisa menyimpulkan, satu tindakan ternyata bisa memicu sebuah implikasi lain yang mungkin jauh lebih berbahaya.
Dengan lebih sedikit moderator, Internet dapat berubah secara signifikan bagi jutaan orang yang kini bergantung pada media sosial sebagai media komunikasi utama mereka dengan dunia luar.
***
Tetapi sebanyak media sosial telah melanggengkan disinformasi, media sosial juga telah menjadi sumber informasi yang diverifikasi.
Dalam sebuah langkah antisipasi, dan persiapan menghadapi serangan yang lebih gencar, Facebook meningkatkan jumlah orang yang berupaya memoderasi konten terutama hal-hal yang berkaitan dengan bunuh diri dan melukai diri sendiri. Kekhawatiran lain adalah penyebaran informasi yang keliru —yang memang selalu menjadi masalah online, khususnya selama krisis pandemi ini. Dan sebagai bagian dari tanggapannya yang lebih luas terhadap virus korona, Facebook juga mengumumkan akan meluncurkan Pusat Informasi Coronavirus, di mana orang dapat memperoleh informasi terbaru tentang pandemi dari sumber-sumber resmi.
Wartawan di seluruh dunia telah menggunakan media sosial untuk mendapatkan gambaran yang lebih akurat tentang situasi terkini dan kemudian mengumpulkannya. Di Cina misalnya (dan juga pada akhirnya Indonesia), volume meme dan percakapan pribadi dan laporan yang beredar setiap hari tentang kebenaran peristiwa dan kesangsian terhadap cegap tanggapnya pemerintah, juga telah menekan pemerintah untuk merilis informasi yang lebih akurat tentang krisis. Demi transparansi, informasi ini disampaikan hampir setiap hari oleh pejabat berwenang.
Di masyarakat sendiri, di seluruh dunia dan bukan hanya di Indonesia, di awal-awal saat pandemi ini berlangsung, beberapa dokter turun ke media sosial untuk meningkatkan kekhawatiran tentang parahnya situasi. Peringatan mereka kemudian menjadi viral dan memungkinan pemerintah setempat mempercepat tindakan dan melakukan keterbukaan informasi tentang apa yang sebetulnya terjadi di lapangan. Sebuah kabar menggembirakan, karena kebutuhan akan verifikasi menjadi jauh lebih mudah.
***
Segala sesuatu yang kita alami saat ini akan lebih buruk tanpa Internet. Tanpa Internet, dan khususnya media sosial, kita tidak akan mendapatkan informasi sebanyak dan secepat ini. Kemampuan kita untuk mencari tahu apa yang dikatakan dokter bisa jadi nihil. Kemampuan kita semua untuk mengetahui apa yang dilakukan virus korona di kota atau bahkan di negara lain akan terbatas pada berita-berita tertentu. Pengetahuan kita tentang krisis yang kita hadapi ini akan terbatas pada apa yang bisa kita temukan dari televisi, radio, surat kabar, dan majalah. Bisa dikatakan akan mundur ke dua dasarwarsa yang lalu.
Persyaratan karantina diri, jaga jarak, bekerja dari rumah, stay at home, social distancing dan berbagai jargon-jargon yang muncul karena pandemi ini, membuat kita semua berinteraksi satu sama lain hanya bisa secara elektronik, baik itu email, SMS, WhatsApp, Facebook, Twitter, dan jaringan media sosial lainnya. Terutama yang masih sibuk dengan urusan kantor, penggunaan Zoom dan sejenisnya pasti menjadi sesuatu yang tidak terlupakan. Tapi ini setidaknya membuat kita masih berinteraksi. Jika virus korona ini muncul di awal 1990-an, mungkin kita semua akan terjebak berbicara di telepon rumah satu sama lain, bunyi penyeranta dan mesin faksimili bersahut-sahutan, dan berbanding lurus dengan teknologi medis dan penanganan krisis yang tidak akan seperti sekarang.
Karena banyak sekolah dan perkantoran ditutup untuk mencegah penyebaran virus korona, media sosial pun tidak luput dari perdebatan pro dan kontra. Mulai dari penggunaan istilah lockdown, karantina wilayah, dan lain-lain menjadi hal-hal yang tidak terelakkan.
Percakapan semacam itu hanyalah salah satu cara media sosial menawarkan jendela ke dalam tanggapan kolektif kita terhadap wabah ini, serta membentuk reaksi kita, apakah itu baik atau buruk.
Ketika virus korona menyebar, platform media sosial seperti Facebook dan Twitter, memfasilitasi percakapan penting tentang virus, informasi real-time yang belum pernah ada sebelumnya di ujung jari dapat memberi kesempatan beberapa pihak untuk membuat keputusan yang cerdas dan tepat. Tapi sementara itu di saat yang sama, ini juga memungkinkan penyebaran sensasi dan informasi yang salah. Ini yang dapat membuat orang-orang menjadi lebih cemas tentang apa yang akan terjadi.
Tapi selain berfungsi sebagai media komunitas, media sosial sebenarnya bisa mengubah cara masyarakat memandang dan merespons wabah virus korona. Seseorang menerima petunjuk dari orang yang lain, dan mereka mungkin lebih cenderung untuk panik membeli jika mereka melihat orang lain memamerkan pembelian panik mereka. Ini dipicu oleh rasa takut dan kecemasan. Kondisi pembelian panik untuk masker dan hand sanitizer secara berlebihan misalnya, lama kelamaan menjadi normal dan semakin menyebar karena terus-menerus dibahas di media sosial.
Seperti bencana serupa lainnya, media sosial melahirkan penggalangan dana online yang massif. Orang-orang memberi uang ke rumah sakit yang kesulitan menyediakan peralatan medis, serta orang-orang yang berisiko meninggal akibat penyakit ini. Secara sukarela, orang-orang menyisihkan uang mereka untuk membantu pedagang-pedagang kecil dan juga ojek online tentunya, untuk bisa terus bertahan hidup. Perusahaan-perusahaan besar mendorong klien dan pengguna mereka untuk menyumbang untuk tujuan sosial tersebut. Itu belum termasuk bergeraknya individu-individu baik terorganisir maupun berdasarkan spontanitas untuk turun tangan melakukan penggalangan, atau sekadar untuk menyebarkan seruan dan imbauan untuk menjaga jarak. Hampir seluruhnya melalui jaringan media sosial. Keterbatasan meningkatkan kepedulian. Demi kemanusiaan.
Orang biasa dapat menggunakan media sosial untuk memberikan dukungan moral kepada mereka yang terkena virus mematikan. Dalam tampilan solidaritas di media sosial, kita melihat adanya ajakan bangkit melawan merebaknya virus korona. Saat itu sekitar 58 hotel di Yogyakarta menyalakan lampu “tanda cita” sebagai tanda solidaritas dan kepedulian terhadap Yogyakarta dari para penggiat dunia perhotelan. Saya dan rekan-rekan lain yang mungkin tidak berada di sana, tapi bisa tahu dan ikut merasakan semangat solidaritas ini ada dan nyata.
Akhirnya, media sosial juga menyediakan semacam ruang bersedih yang kolektif. Peristiwa seperti ini bisa sulit untuk diproses secara psikologis, dan mungkin lebih sulit untuk dipahami. Misalnya ketika salah satu ilmuwan yang pertama kali menemukan virus ini akhirnya meninggal, kematiannya memicu percakapan tentang keberanian tanpa pamrih dari orang yang berjuang melawan wabah. Dan ini akan selalu dikenang oleh pengguna media sosial, selamanya.
Media sosial akan menjadi ensiklopedia tidak resmi. Mungkin salah satunya bisa mengakibatkan penyebaran beberapa informasi yang salah, tetapi itu juga dapat memungkinkan pembaca di masa depan untuk memahami bagaimana seseorang mengalami peristiwa tersebut saat terungkap. Tidak seperti surat pribadi, kartu pos yang mungkin akan lapuk dan musnah, media sosial akan menjadi dokumentasi abadi, yang detailnya mungkin tidak akan hilang.
Media sosial dengan konten yang baik bisa membantu tidak hanya meluruskan peristiwa, tapi bisa berfungsi sebagai catatan fakta untuk yang terjadi di hari-hari ini. Ada ruang dokumentasi sejarah yang akan terbuka lebar.
Pandemi ini akan diingat di tahun-tahun yang akan datang, terutama karena media sosial telah memungkinkan orang-orang untuk tetap berhubungan bahkan di era pembatasan sosial. Tapi sekali lagi tidak seperti pandemi 1918 atau 2003, berita saat ini bisa mengalir lebih mudah dan lebih cepat daripada virus apa pun. Untuk itulah tingkat literasi, kedewasaan berpikir logis dalam bertindak—terutama atas dasar kemanusiaan, tetap menjadi persyaratan yang utama dan tidak tergantikan.
Hard as it is to believe, but the answer is true. Stay safe, stay healthy, people.
Jakarta, 8 April 2020
— Tulisan ini termasuk dalam kumpulan essay setebal hampir seribu halaman “Kemanusiaan pada Masa Wabah Corona” terbitan Balai Pustaka (2020), yang ditulis oleh 110 penulis yang tergabung dalam Persatuan Penulis Indonesia (SATUPENA).
Leave a Reply